Kamis, 28 Januari 2010

Kasus Pajak

Kasus pajak Umum: Kesalahan penulisan kode MAP

Pada kasus dimana terdapat kesalahan penulisan kode MAP pada Surat setoran Pajak (SSP) baik untuk Kode jenis pajak maupun Kode jens setoran, baik karena tidak sengaja, kelebihan pembayaran maupun akibat perubahan jenis pembayaran, maka WP bisa mengajukan permohonan pemindahbukuan kepada KPP domisili dengan syarat :

  1. Surat permohonan Pemindahbukuan dlm surat permohonan harus mencantumkan kode jenis pajak/jenis setoran yang keliru, dan kode jenis pajak/jenis setoran yang seharusnya.

  1. Asli SSP


Kasus BPHTB: Salah pengisian NOP

Nomor Objek pajak PBB merupakan nomor unik yang berbeda antara bidang tanah yang satu dengan yang lain. Untuk menjaga keunikannya, DJP telah mengembangkan berbagai program antara lain program pemetaan SIG (System Informasi geografis).

dalam hal terdapat kesalahan dalam pengisisan NOP dalam SSB BPHTB dan terlanjur di bayar di bank, maka sistem MPN akan memasukkan pembayaran tsb ke dalam rekening NOP yang keliru tersebut.

dengan adanya kewajiban validasi SSB BPHTB ke Kantor Pajak, maka kesalahan seperti ini akan sangat jelas terlihat.


Kasus BPHTB: Perolehan Hak
PT X mendaftarkan permohonan hak atas perolehan hak sebagai kelanjutan dari pelepasan hak atas beberapa bidang tanah.atas perolehan hak tersebut, PT X terhutang BPHTB dengan NPOPTKP dikenakan satu kali.

dlm kasus ini, pelepasan hak meskipun berasal dari beberapa bidang tanah/beberapa orang. namun karena sebagai akibat dari pelepasan hak ini, tanah-tanah tsb kembali menjadi tanah negara, maka perolehan hak baru atas tanah ini dianggap terjadi atas satu bidang tanah saja yakni berasal dari tanah negara

(SE Dirjen pajak nomor SE-22/PJ.6/2000 tanggal 25 Mei 2000)


Kasus BPHTB: Pembatalan jual beli
A telah membayar SSB BPHTB atas transaksi jual beli sebidang tanah. karena suatu hal penjual membatalkan kesepakatan jual beli, (sebelum akta dibuat).
atas pembatalan tsb, A dapat meminta kembali (restitusi) uang yang telah terlanjur di setorkan tsb kepada Kantor pelayanan Pajak setempat.
syarat pengajuan restitusi :
1. Surat Pengajuan permohonan Restitusi
2. Fotocopy KTP/KK
3. Fotocopy SPPT PBB berikut pelunasannya (STTS)
4. Asli SSB BPHTB yang dimintakan restitusi
5. Keterangan dari Notaris/PPAT

dalam banyak kasus, KPP selalu meminta nomor rekening dari pemohon karena restitusi biasanya hanya dilayani melalui transfer Bank.

Apabila Akte sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak dan notaris, maka SSB yang telah dibayar TIDAK DAPAT DI RESTITUSI

DASARNYA:
1. Penjelasan pasal 21 UU BPHTB
2. S-471/PJ.331/2000 tanggal 27 Oktober 2000,






DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
27 Oktober 2000

SURAT DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR S - 471/PJ.331/2000

TENTANG

PENJELASAN PENGEMBALIAN BPHTB BERKAITAN DENGAN
PEMBATALAN AKTA JUAL BELI TANAH DAN ATAU BANGUNAN

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menyusul surat kami Nomor : S- 461/PJ.331/2000 tanggal 12 Oktober 2000 perihal tersebut pada pokok surat, dan untuk lebih jelasnya pemahaman tentang BPHTB dengan ini disampaikan tambahan penegasan sebagai berikut :

Dalam hal akte jual beli telah ditandatangani oleh PPAT namun karena suatu hal, kedua belah pihak penjual dan pembeli sepakat untuk membatalkan jual beli tersebut, maka atas BPHTB yang telah dibayar tersebut tidak dapat diminta kembali (tidak dapat direstitusi), karena dalam kasus jual beli sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, saat terutang BPHTB adalah sajak saat dibuat dan ditandatanganinya akta jual beli oleh PPAT yang wajib dilunasi oleh pihak pembeli sebagai Wajib Pajak.

Demikian untuk dimaklumi.

A.n. Direktur Jenderal
Direktur,

ttd

IGN Mayun Winagun
NIP 060041978


Tembusan :
1. Direktur Jenderal Pajak;
2. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
3. Direktur Pajak Penghasilan;
4. Direktur Pajak Bumi dan Bangunan.



Kasus BPHTB: BPHTB belum dibayar

SSB BPHTB harus di bayar sebelum Akta ditanda tangani, namun dalam beberapa kasus ada SSB BPHTB yang belum di bayar bahkan hingga saat akan didaftarkan ke BPN.

Dalam kasus ini, atas diri penerima hak hanya terkena sanksi denda, sedangkan sanksi terberat ada pada PPAT yang membuat Akta.
Untuk penerima hak, atas pembuatan akta tsb terutang BPHTB sebesar BPHTB terutang ditambah denda 2 % perbulan dihitung dari tanggal pembuatan akta sampai tanggal pembayaran.

Untuk PPAT, terkena sanksi administrasi sebesar Rp. 7.500.000,- per Akta.



kasus BPHTB: hak baru yg diatasnya ada bangunan

dalam hal peristiwa perolehan hak atas tanah dan bangunan karena pemberian hak baru di luar pelepasan hak yang di atasnya terdapat bangunan, maka:

1.      apabila bangunan tsb telah didirikan/dimiliki oleh penerima hak sebelum UU BPHTB diberlakukan (1 Juli 1998), maka atas perolehan tsb hanya terutang bPHTB atas tanah saja.
2.      dalam hal bangunan tsb telah didirikan/dimiliki oleh penerima hak setelah UU BPHTB diberlakukan (1 Juli 1998, maka atas perolehan hak tersebut terutang BPHTB atas tanah dan bangunan.

(SE 10/PJ.6/1999)

Pembuktian bahwa bangunan sebagaimana tersebut di atas didirikan / dimiliki oleh penerima hak sebelum atau sesudah UU BPHTB diberlakukan antara lain dengan :
a. Surat Ijin Mendirikan bangunan/Pemutihan ijin Membangun, atau
b. Surat keterangan lainnya, dan
c. Kondisi fisik bangunan

dalam banyak kasus, Kantor Pajak biasanya mendasarkan pemeriksaan bangunan pada IMB dan kondisi fisik bangunan.

Yang dimaksud Pemberian Hak di Luar pelepasan Hak adalah pemberian hak dalam rangka Ajudikasi.

Yang pertama diperhatikan dalam kasus BPHTB dalam kasus JUAL BELI adalah:
  1. Apabila atas tanah tersebut tidak memiliki HAK (HM, HGB, H Pakai, HM SRS atau hak Pengelolaan), maka atas semua JUAL BELI tanah tersebut TIDAK TERHUTANG BPHTB sebanyak apapun transaksinya,

BPHTB akan terhutang pada saat didaftarkan ke BPN dan dikategorikan pada PEMBERIAN HAK BARU (karena tanah tersebut belum ada HAK-nya)

Jadi benar BPHTB diterapkan pada kondisi saat dimana DIterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Hak oleh BPN.

Kondisi pada saat itu dijadikan dasar dalam perhitungan BPHTB. Apabila pada saat itu sudah ada bangunan, menurut saya tetap dikenakan atas tanah dan bangunan.

  1. Apabila Tanah Tersebut sudah memiliki HAK,
Maka saat terhutang BPHTB adalah SEJAK TANGGAL dibuat dan ditandatanganinya AKTA, sebanyak itu transaksi dengan menggunakan AKTA sebanyak itu pula terhutang BPHTB, walaupun ybs baru mendaftarkan setelah transaksi yang ke sekian kalinya..

Misal : dia sudah transaksi pada tahun 2002 (berdasarka Akte Notaris dan tanahnya sudah bersertifikat).

Jika dia mendaftarkannya sekarang (tahun 2008) , maka sepanjang dia sudah membayar BPHTB pada tahun 2002 , maka di tahun 2008 untuk balik namanya ke BPN sudah tidak terhutang BPHTB karena sudah dibayarkan pada saat terhutangnya yaitu saat ditandatanganinya AKTA (tahun 2002)

Perlu diketahui BPHTB hanya mengakui JUAL BELI lewat NOTARIS itupun terhadap tanah yang memiliki HAK, jual beli dibawah tangan tidak diakui dan tidak terhutang BPHTB.

pada kasus anda saya mengasumsikan:
1.      tanah tersebut belum bersertifikat karena dari statement anda dia baru mendaftarkan pada tahun 2008 ke BPN.
2.      Atas tanah belum bersertifikat tidak terhutang BPTB walaun jual beli dilakukan di depan NOTARIS.
3.      Terhutang BPHTB adalah saat pendaftaran untuk diberikan hak baru.
4.      Perhitungan BPHTB berdasarkan kondisi saat itu juga...(saat tanggal ditandatangani dan diterbitkan surat keputusan pemberian hak)



kasus BPHTB: pembagian hak atas warisan

kasus: terdapat sebuah warisan seluas 900 m2 dengan 3 ahli waris dimana A mendapat 400m2, B 300M2, dan C 200M2.

maka pengenaan perpajakannya adalah sebagai berikut:
  1. buat SSB BPHTB waris atas nama seluruh ahli waris (cs) atas keseluruhan warisan (900 M2)
  2. buat SSB atas APHB (akta pembagian Hak Bersama) dengan perhitungan sbb:
a. sesuai dengan BPHTB waris maka tiap ahli waris berhak atas warisan seluas 300M2 (900/3, sehingga APHB yang terkena BPHTB adalah: untuk A = 400-300 = 100 M2, B = 300 - 300 = 0, C = 200 -300 = 0 (nihil).
sehingga BPHTB untuk A adalah ((100 M2 X NJOP)- NPOPTKP )X 5%.

dalam kasus ini, A dipersamakan dengan kasus A menerima hibah dari C

Pada Point 2 atas pembagian HAK BERSAMA, Yang perlu diperhatikan adalah: Sepanjang pembagian diatas sesuai dengan:
a. Surat Keterangan Waris;atau
b. Surat Keputusan Pengadilan Agama;atau
c. Akte pembagian waris lewat notaris bagi WNI keturunan,

apabila A mendapat 400, B 300M2, dan C 200M2 itu sudah tercantum pada Surat/Akte di atas,

Maka :Atas pembagian hak bersama itu tidak terhutang BPHTB. (kecuali apabila mengakibatkan peralihan sebagaimana pasal 2 ayat (2) huruf a angka 7 UU BPHTB)

Apabila dalam kenyataan A mendapat 600 m karena diberikan/diiklaskan oleh C dan B tetap 300 m, maka A terhutang BPHTB sebesar 600-400 = 200m dan berdasarkan/dihitung menurut BPHTB atas hibah/pemberian. atas B tidak terhutang BPHTB akibat pemisahan hak itu.

kesimpulan: Untuk Warisan perlu diperhatikan:
  1. a. Surat Keterangan Waris;atau
b. Surat Keputusan Pengadilan Agama;atau
c. Akte pembagian waris lewat notaris bagi WNI keturunan,
  1. Dalam pemisahan Hak pada prinsipnya setiap ahli waris sudah memiliki hak atas tanah itu. Hal ini di buktikan dengan Sertifikat hak bersama yang dikeluarkan oleh BPN. Oleh Karena itu pemisahan hak atas waris yang TIDAK mengakibatkan peralihan (pemisahan tersebut sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan) TIDAK AKAN TERHUTANG BPHTB.
  2. Jika Anda belum jelas silahkan Hubungi Kring pajak 500200 atau Direktorat Peraturan Perpajakan I Subdit PBB dan BPHTB.



kasus BPHTB: hibah dari suami ke istri

dalam suatu peristiwa hukum pengalihan hak dari suami ke istri atau sebaliknya melalui proses hibah, maka kewajiban perpajakannya adalah sebagai berikut:

1.      sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU no 20 th 2000 ttg BPHTB, berikut PERMENKEU no 105/PMK.03/2005 tentang Perubahan atas KepMenkeu No 561/KMK.03/2004 tentang pemberian pengurangan BPHTB tidak diatur mengenai hibah selain dari hibah sedarah dalam satu garis lurus ke atas atau ke bawah. sehingga atas hibah dari suami ke istri atau sebaliknya, tidak mendapatkan pengurangan thd BPHTB terutang.

2.      dalam hal hibah tsb memiliki nilai NPOPTKP sama atau lebih dari 60 juta, maka atas peristiwa hibah tsb juga terhutang PPh Final sebesar 5% dari NPOP

Catatan : KUHPerdata (BW) Pasal 1678
     Penghibahan antara suami isteri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud, yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah.

Contoh Kasus diatas Mengundang Pertanyaan apa boleh dilakukan, ???? Jawabnya Boleh jika Pasangan Sumai Isteri tersebut sebelum perkawinan telah membuat Akta Perjanjian Pra Perkawinan yang isinya mengatur Pisah Harta antara keduanya



BPHTB atas waris dan hibah wasiat

Berkaitan dengan waris dan hibah wasiat, sesuai dengan pasal 3 UU no 20 tahun 2000, pengenan pajak waris dan hibah wasiat diatur dengan Peraturan pemerintah (PP).

PP yang berlaku saat ini adalah PP no 111 tahun 2000 tentang Pengenaan BPHTB karena Waris dan Hibah Wasiat.

Pokok-pokok aturan dalam PP tsb a.l adalah :

Pasal 2 :
BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena Waris dan Hibah Wasiat adalah sebesar 50 % dari BPHTB  yang seharusnya terutang.

Pasal 3 :
Saat terutang pajak, sejak yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

penjelasan :
atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat, BPHTB terutang adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terhutang. pengurang 50% ini bersifat "otomatis', dalam artian atas pengurangan tersebut tidak memerlukan permohonan pengurangan kepada KPP setempat sebagaimana pengurangan terhadap hibah dalam satu garis lurus.

atas pengurangan sebesar 50% tsb juga tidak melihat hubungan antara almarhum dengan ahli waris, sehingga "siapapun" yang menerima waris atau hibah wasiat dapat pengurangan sebesar 50%.


DASAR-DASAR PERHITUNGAN BPHTB
BPHTB = ( NPOP - NPOPTKP ) x Tarif

a t a u

bila NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan :

BPHTB = ( NJOP - NPOPTKP ) x Tarif


Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak (5%) dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP). Besarnya NPOPKP adalah NPOP – NPOPTKP. Apabila NPOP lebih rendah dari NJOP PBB tahun terjadinya transaksi, atau bila NPOP tidak diketahui, maka dasar pengenaan pajaknya adalah NJOP PBB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar