Jumat, 14 Mei 2010

Pemohon Uji Kuorum Hak Menyatakan Pendapat Perbaiki Permohonan

Pemohon Uji Kuorum Hak Menyatakan Pendapat Perbaiki Permohonan

Kuasa Hukum Pemohon, Maqdir Ismail, menjelaskan perubahan Permohonan mengenai Uji Materi UU Hak Menyatakan Pendapat di Ruang sidang Panel MK, Rabu (12/5).
Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), Rabu (12/5), di Gedung MK. Perkara yang diregistrasi dengan Nomor 26/PUU-VIII/2010 ini diajukan oleh 19 Pemohon yang terbagi dalam dua Pemohon, yakni Pemohon I yang berasal dari Anggota DPR, yakni Lily Wahid, Bambang Soesatyo dan Akbar Faisal. Serta Pemohon  II dari kalangan masyarakat yang merupakan para konstituen Anggota DPR.
Melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail, Pemohon mengubah permohonannya secara keseluruhan sesuai dengan saran Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva pada sidang sebelumnya. Pemohon memperjelas kedudukan hukum (legal standing) Pemohon I yang semula adalah Anggota DPR menjadi warga negara atau perseorangan. “Pemohon I selaku anggota DPR potensial akan mengalami kerugian hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009, karena kesulitan untuk menggunakan haknya dalam menyatakan pendapat, sehingga prinsip-prinsip check and balances dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut UUD Tahun 1945 tidak dapat diwujudkan dengan optimal,” jelasnya.

Pemohon menilai Pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009 bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD Tahun 1945. Maqdir menjelaskan bahwa dalam Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 untuk menguji kebenaran “pernyataan pendapat” dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut, maka  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk  memeriksa, mengadili, dan memutus “pernyataan pendapat” Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau “pendapat” bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
”Ketentuan usul menyatakan pendapat sebagaimana dimuat dalam Pasal 184 ayat (4) UU No. 27/2009 tersebut, nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, karena terminologi atau mekanisme usul menyatakan pendapat tersebut tidak dikenal dalam Pasal 7B UUD Tahun 1945. Ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 nyata-nyata bertentangan secara hierarki dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 2004,” ujarnya.
Menanggapi pernyataan Pemohon, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menjelaskan bahwa ada perbedaan makna antara kata ’pendapat’ dalam Pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009 dengan Pasal 7B ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang menjadi alat uji Pemohon. Pada Pasal 7B UUD 1945, lanjut Hamdan, kata ’pendapat’ merujuk pada pendapat DPR kepada MK mengenai Presiden atau Wakil Presiden yang melakukan pelanggaran. ”Sedangkan dalam Pasal 184 ayat (4) UU Nomor 27/2009, kata ’pendapat’ yang dimaksud merupakan hak menyatakan pendapat oleh DPR. Pemohon harus mendalami keterkaitan makna kata ’pendapat’ antara Pasal 184 ayat (4) UU nomor 27/2009 dengan Pasal 7B UUD 1945,” ujarnya.
Sedangkan, Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menyarankan agar Pemohon mempertimbangkan melakukan legislative review ke DPR. Menurut Akil, permohonan Pemohon lebih berkaitan dengan kesalahan dalam membuat Undang-undang dibanding dengan konstitusionalitas pasal. ”Pemohon perlu mempertimbangkan mana yang lebih strategis antara mengajukan judicial review ke MK atau legislative review ke DPR? Tapi terserah kepada Pemohon,” katanya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 184 ayat (4) UU MD3 melanggar hak konstitusional Pemohon baik sebagai anggota DPR maupun warga negara. Pasal 184 ayat (4) menyatakan bahwa ”Usul sebagaimana di maksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapat persetujuan dari Rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat) dengan persetujuan paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir”. Maqdir menjelaskan bahwa secara yuridis, UUD 1945 memberikan jaminan yang sangat kuat bagi kedudukan DPR dalam mengunakan fungsi pengawasan terhadap jalannya roda pemerintahan, di antaranya adanya Hak Menyatakan Pendapat. Pada kenyataannya, ketentuan tentang  Hak Menyatakan Pendapat oleh DPR dalam pasal 184 ayat (4)  UU No. 27 Tahun 2009 bertentangan dengan ketentuan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. (Lulu Anjarsari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar