Rabu, 23 Desember 2009

Ancaman UU ITE terhadap Kebebasan berpendapat

by Firdaus Copy Isnanto 24 Des 2009
Penulis:


Tak peduli faktanya benar atau tidak, kalau Anda berani mengkritik, silakan tanggung risiko digugat pidana dan perdata oleh pihak yang mengaku tercemar nama baiknya atau merasa terhina oleh kritikan Anda. Seorang konsumen yang kecewa pada sebuah produk atau jasa, bahkan dirugikan, kini "dilarang" mengkritik produsen atau curhat di ruang publik. Nerimo sajalah. Begitukah pesan yang ingin disampaikan oleh Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap para pengguna Internet? Khususnya bagi yang memanfaatkan Internet juga sebagai media mengeluh atau mengkritik?

Kita masih ingat nasib Prita Mulyasari. Ibu dua balita ini semula hanya menceritakan pelayanan yang diterimanya di RS Omni Internasional Hospital Alam Sutera Tangerang di sebuah miling list. Ia lalu meyakini bahwa RS itu telah melakukan penipuan, atau setidaknya kelalaian. Namun, bukannya ganti rugi, ia malah mendapatkan tuntutan hukum dari pihak RS Omni. Iktikad Prita sebenarnya sederhana, ia ingin berbagi pengetahuan kepada teman-temannya di milis itu, agar tidak mengalami nasib serupa. Karena surat langsung ke Manajemen RS menurutnya tak ditanggapi positif, maka wajarlah ia curhat kepada teman-temannya. Akibat berbagi pengalaman itu, Prita kini tengah menghadapi tuntutan hukum dari RS Omni. Pasalnya: pencemaran nama baik.

Kasus ini seolah ingin memberi peringatan kepada para konsumen agar tak coba-coba mengeluhkan produk, jasa, atau pelayanan buruk apa pun yang diterimanya kepada publik.

Kasus ini juga mengingatkan kita pada kriminalisasi email di miling list Forum Pembaca Kompas yang mendera Narliswandi (Iwan) Piliang. Wartawan ini dituntut oleh Alvin Lie akibat tulisannya soal anggota DPR RI dari Partai Amanat Nasional itu. Seorang wartawan seperti Iwan 'untunglah' tentu mempunyai kredibilitas, pengetahuan, dan wawasan tentang bagaimana cara menyikapi sebuah tuntutan. Bagaimana jika korban kriminalisasi itu adalah kalangan konsumen yang awam hukum?

ICT dan ITE
Kasus yang menimpa Prita memang rumit. Keluhannya dicantolkan ke Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Bab VII (Perbuatan yang Dilarang) Pasal 27 ayat 3. Yakni, Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Mumpung belum ada UU lain yang dianggap pas mengurus kasus semacam Prita ini, maka pihak RS Omni pun segera memanfaatkan UU yang ada, UU ITE.

Keluhan dan penilaian yang disampaikan oleh Prita sebenarnya berupa informasi yang bisa menjadi pengetahuan bagi konsumen lain untuk memutuskan ke mana harus berobat. Caranya untuk menyampaikannya melalui media elektronik, yakni milis, juga sangat wajar. Karena, internet sebagai salah satu alat teknologi informasi memang praktis menjadi media pertukaran informasi dan pengetahuan. Namun, dengan adanya kasus yang menimpa Prita, atau juga Iwan Piliang, kini publik seolah dibikin takut untuk memanfaatkan ICT (information & comunication technology) untuk mengabarkan fakta atau keluhan.

Kehadiran IT sebagai kabar baik dalam kehidupan berbagi informasi dan pengetahuan bisa berubah menjadi kabar buruk, menjadi momok. Apalagi, konten dalam IT, dalam hal ini isi email di milis, bisa dijadikan alat bukti untuk menghukum si penulis email. Sementara, si penuntut tidak diwajibkan oleh Pengadilan untuk memberikan bukti adanya kerugian yang diderita akibat email tersebut.

Jika menyampaikan pendapat di mailing list saja bisa diancam pasal pencemaran nama baik, ke mana lagi kita mesti menyuarakan aspirasi? Yang pasti, Aseng takkan lagi menggunakan surat pembaca untuk berpendapat. "Berangkat dari pengalaman ini, konsumen seperti terintimidasi. Jadi, sebaiknya tidak perlu ada lagi kolom surat pembaca di media massa," kata Aseng seperti dimuat di kompas.com. Masih ada lagi korban seperti Esther dan Aseng. Jika Aseng mengamati kasus yang menimpa Prita, bisa diduga ia pun takkan menggunakan milis untuk berpendapat atau komplain.

Jika UU ITE malah memberangus konsumen, bernaung pada UU manakah konsumen bila dirugikan produsen? Entah bagaimana keberpihakan para politisi di Gedung DPR saat merancang dan mengesahkan UU ITE. Entah sejauh apa pemahaman para pengadil dalam menggunakan UU ini. Entah seberapa nyambung-nya maksud para penyusun UU ITE dengan para hakim di pengadilan.

Memang, baik buruknya nasib konsumen ditentukan maju tidaknya penerapan pelayanan publik di sebuah negara, dalam hal ini keluhan warga. Bandingkan misalnya dengan Amerika Serikat. Warga miskin Hinkley, California, yang komplain bisa mendadak kaya raya karena telah terbukti dirugikan oleh Pacific Gas and Electric Company's Compressor Station. Perusahaan raksasa itu harus membayar kompensasi kepada warga yang jumlah uangnya mencatat rekor sejarah ganti rugi di dunia, 333 miliar dolar AS.

Sementara, di negeri ini, mengajukan komplain, jangankan menjadi kaya, si pengadu malah bisa jatuh miskin dituntut hingga 1 miliar. Jika dibiarkan terus, maka hal ini akan menjadi buruk bagi berkembangnya dinamika berbagi informasi dan pengetahuan. Termasuk bagi para blogger dan pelaku jurnalisme warga.

Blogger
dan Jurnalisme Warga

Ketika Junta Militer Burma gencar melakukan tindak kekerasan, hingga pembunuhan, terhadap para pendemo pada 2007 lalu, Pemerintah Burma menguasai pers di negara yang tengah bergolak itu. Sehingga, nyaris tak ada berita tentang kekejaman militer terhadap pendemo, termasuk kaum biksu, yang berasal dari media massa mainstream. Namun, masyarakat dunia tak kehilangan akses untuk mendapatkan informasi seputar konflik itu.

Adalah para blogger yang berjasa mengabarkan fakta di Burma kepada dunia. Tak hanya tulisan, para penulis bermedia internet ini juga menampilkan foto-foto kekejaman militer. Mereka bisa leluasa menyebarkan informasi karena tak berada dalam sebuah institusi media massa konvensional. Mereka berada di rumah-rumah, di mana pun, sehingga sulit ditemukan oleh aparat Pemerintah Burma.

Fenomena warga sipil yang secara mandiri menulis dan mempublikasi berita melalui internet ini memang sedang berkembang di dunia, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Gejala ini lalu populer disebut citizen jurnalism atau jurnalisme warga. Yakni, warga menulis berita secara sukarela lalu dimuat di blog, website, dan media publikasi lainnya.

Di Indonesia, jurnalisme warga pun sudah mulai merebak. Kehadirannya juga dipicu oleh upaya membangun pers yang tak terikat oleh kepentingan pemodal.

Dikaitkan dengan potensi kriminalisasi surat pembaca dan keluhan, maka kehadiran jurnalisme warga menjadi strategis. Sebagai media penyeimbang, jurnalisme warga jadi sangat dibutuhkan. Sebab, setidaknya, si penulis memiliki cantolan UU Pers. Bandingkan dengan kasus Aseng dan Prita yang karena tak dapat berpegang pada UU yang membela kepentingannya, maka pihak penuntut mengaitkannya dengan UU ITE. Cuma memang, UU Pers sendiri harus dibangun lagi wibawanya.

Tugas inilah yang semestinya juga menjadi PR para wakil rakyat. Karena pers dan DPR hakikatnya ada tak lain adalah untuk rakyat, maka semestinyalah para wakil rakyat berjuang bersama pers untuk membela rakyat. Bukan malah membuat UU yang mengebiri kebebasan pers dan kebebasan berpendapat rakyat. Bila perlu, DPR mendukung perkembangan jurnalisme warga, agar mereka lebih mudah mendengar suara warga, suara rakyat.

Apalagi, sejumlah anggota DPR suka mengajukan alasan bahwa masalah di negeri ini sangat banyak, perlu waktu lama untuk mempelajari semuanya. Nah, konten dari jurnalisme warga bisa jadi jendela ‘belajar’ tentang persoalan rakyat. Maka, eksistensi jurnalisme warga bukan saja perlu diperhitungkan, melainkan juga perlu dikembangkan, baik kualitas maupun kuantitasnya.

Tinggal masalahnya para pelaku jurnalisme warga memang perlu meningkatkan semua kemampuan dasar menulis jurnalistik. Perlu dipelajari bagaimana membuat tulisan yang memenuhi kaidah jurnalistik. Sehingga, penulis setidaknya bisa bernaung di bawah UU Pers ketika ada ancaman UU ITE terhadap tulisannya. Setelah itu, mereka bisa mengirim tulisan ke website-website yang menggunakan konsep jurnalisme warga, seperti beritabersama.com atau presstalk.com. Jadi, kalau toh ada ancaman tuntutan berbasis UU ITE, si penulis tak berdiri sendiri. Karena, kontennya menjadi tanggung jawab pengelola website tersebut.

Sementara persoalan hukum masih carut-marut, pasal-pasal karet mulai menambah jumlah korban, apakah konsumen yang ingin komplain jadi perlu belajar menulis berita atau feature? Agar tak bernasib seperti Prita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar